Sekarang atau nanti, Aku tetap memilihmu.
Gemercik air hujan yang mengawali pagi ini. Udara
dingin menusuk tulang. Rasanya malas sekali untuk beranjak dari kasur.
Gravitasi kasur lebih kuat daripada gravitasi bumi.
Ku buka jendela kamar, melihat suasana pagi hari
yang sejuk. Ya, sejuk. Karena aku menyukai hujan. Hujan selalu membuatku merasa
tenang.
Aku beranjak dari kasur untuk memulai aktivitas hari
ini. Setelah siap, aku turun kebawah untuk sarapan. Disana sudah ada orang tua
ku dan adik ku. “Ray, hari ini kamu berangkat sama Mang Adi ya. Ayah ada rapat
pagi ini. Jadi tidak bisa mengantarmu sekolah”.
Ya, nama ku adalah Raya. Naraya Aletha Qirani. Itu
adalah nama pemberian kakek ku. Ayahnya ayahku. Beliau berharap agar aku
menjadi anak perempuan yang selalu di berkahi Allah untuk menjadi manusia jujur
dan akan diharapkan banyak orang.
Aku anak pertama dari 2 saudara. Adik ku perempuan
juga. Sekarang ia kelas 9 SMP, dan aku kelas 11 SMA. Hanya selisih 2 tahun.
Setelah selesai sarapan, aku pamit kepada orang tua
ku. Mang Adi adalah supir pribadi
keluarga kami.
“Mba Ray, nanti dijemput jam berapa yah?” Tanya Mang
Adi dengan logat jawanya. “Kaya biasa aja Mang. Nanti Ray gak ada kumpul”
***
Seorang gadis berjalan menuju rooftop. Hanya tempat
itu yang ia senangi ketika di sekolah. Bukan kantin atau perpustakaan seperti
anak lainnya. Ia lebih memilih menyendiri. Hanya dengan suasana tenang ia mampu
merehatkan fikirannya sejenak. Setelah acara ulangan fisika yang membuatnya
pusing.
Ketika memejamkan mata, derap langkah kaki terdengar
mendekat ke arahnya. Tetapi ia abaikan.
“Sendirian aja?” Raya faham dengan suara itu. Kenapa
orang itu selalu saja mengganggunya.
“Liatnya sih,” sinis Raya. Sudah ketebak bahwa Raya
tidak menyukai kehadiran lelaki itu disini.
“Ya gitu. Lo belum pulang?” Tanya nya lagi.
“Liatnya sih,” ulang Raya.
Perempuan
tidak ingin ditanya bukan? Mengapa ia selalu ikut campur dengan urusannya?
Rasanya ingin hilang sekarang dari bumi.
“He he he” ia ketawa
Apa lucunya coba dari perkataan Raya barusan? Sepertinya
hanya perkataan tidak suka, kenapa dia ketawa?
“Apa? Ada yang lucu?”
“Tidak.”
“Terus kenapa ketawa?”
“Kamu cantik…” katanya “… kalo lagi cuek” sambungnya
lagi
“Apa hubungannya coba?”
“Engga ada. Kaya hubungan kita”
“Apaan sih! Ganggu aja lo. Sana pergi deh” usir Raya
“Ok”
“Tapi jangan rindu”
“Berat. Kamu gak akan kuat”
Katanya sambil tersenyum dan berlalu.
“Sok kaya Dilan deh lu.”
Rasanya ingin memaki cowo menyebalkan itu. Kenapa ia
selalu muncul ketika mood Raya sedang baik. Lalu menghancurkan dengan kata-kata
gombal yang menurut Raya itu “Alay”.
***
Hembusan
dingin kota Jakarta membuat Raya mengeratkan jaket yang melilit tubuhnya. Ia
pun melanjutkan perjalanan menuju kafe di sudut kota. Tempat kesukaannya
menyendiri di hari Sabtu maupun Minggu, hari- hari dimana Raya terbiasa sendiri
dan berdiam diri. Ditemani laptop dan secangkir coffe late hangat pun sudah cukup untuk memenuhi keinginan
istirahat Raya setelah banyaknya tugas dan ulangan di sekolah.
Namun, Reynand,
badut kelas paling menyebalkan dan sering menyeringai ke arahnya, lagi-lagi
berada di meja favorit Raya di kafe ini. Seolah tidak ada meja lain.
“Hai,” sapa Rey hangat dengan mata berbinar saat
melihat Raya. Seminggu yang lalu, cowok itu menyatakan perasaan padanya, seolah
Rey tidak tahu pada fakta bahwa Raya masih terjebak di masa lalu.
Seolah, “eh, gue suka lo, mau jadi pacar gue?”
sekasual yang terlihat.
“Hm,” balas Raya singkat seraya duduk bersebrangan
dengan Rey, menyandarkan kepalanya pada dinding kaca. Karena tidak mau melihat
cowok itu, Raya mengalihkan pandangannya pada aktivitas kota di pagi hari.
Banyak orang hilir-mudik di depannya. Beberapa memegangi ponsel, mengetik, atau
sekedar menerima telepon seraya berjalan. Anak-anak berlarian di taman sebrang
kafe, bermain. Orang tuanya mengawasi di kursi taman. Beberapa pasangan tampak
duduk berdua sambil memakan sarapannya.
Saat Raya terhanyut pada suasana kota, suara Rey
kembali terdengar, mengusiknya. “Eh, Ray, mau gue modusin, gak?”
Raya dengan cepat menoleh kearahnya. Menatap garang
mata cokelat yang berbinar itu. Seolah wajahnya sepolos perkataannya. Raya
menghela napas kesal. Kapan, sih, orang
aneh ini berhenti menggaggunya?
“Cari Raya yang lain, sana,” desis Raya, sontak
membuat tawa Rey terlepas. Raya tidak mengacuhkan tawa itu, ia memilih
mengangkat tangannya pada pencatat pesanan.”Waitress”.
Pelayan itu mendatangi meja mereka berdua –atau,
bisa dibilang, meja kesukaan Raya yang Reynand telah invasi –tersenyum kecil,
dan bertanya, “mau pesan apa, Kak?”
“Jangan panggil dia kak,” mata Rey mengarah pada
nama yang tertera di name tag tersebut,
Tita,”Tita, karena nama dia Raya.
Rayatic.”
“Apaan si lo, gajelas banget si.” Balas Raya sambil memutar bola matanya malas.
HELLO GAESSSS THANKS FOR READING , I LOVE THEM SO MUCH. SEMOGA KALIAN SUKAAA {} Btw segini dulu yaa :))
Comments
Post a Comment